MAKALAH
HUKUM PERIKATAN
DISUSUN OLEH DAHLIA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2013
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada
tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya
boleh menyelesaikan sebuah makalah
ini dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " HUKUM PERIKATAN", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah dalam hukum perikatan ini.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat .
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " HUKUM PERIKATAN", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah dalam hukum perikatan ini.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat .
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini
dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. Pengertian
Perjanjian dan Perikatan
Perjanjian adalah salah satu
bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian,
termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak
menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Pengertian perjanjian secara umum
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak,
sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum
untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut
prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan.
BAB III
STUDI
KASUS
1.
Apa yang
dimaksud dengan “Hukum Perikatan”?
2.
Apa asas-asas
dari hukum perikatan?
3.
Apa tujuan
dari hukum perikatan?
HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian
Perjanjian dan Perikatan
Perjanjian adalah salah satu
bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian,
termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak
menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka
timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam
bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi
dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah
suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang
konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum
untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut
prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan.
2.
Sumber Hukum Perikatan
Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia
dengan di Mesir, dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari
Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata
Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan
di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang
membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang
yang sama.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian
dan undang-undang dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi
undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh
dalam perikatan yang timbul karena perbuatan menurut hukum contohnya; mengurus
kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal 1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari perikatan yang timbul dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 104 mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah, dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya. Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.
kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal 1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari perikatan yang timbul dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 104 mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah, dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya. Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Adapun,
sumber-sumber pokok perikatan yang ada di Mesir adalah adanya perjanjian
(keinginan kedua belah pihak) dan tidak adanya perjanjian (muncul karena
ketidaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua belah pihak). Dan definisi
perjanjian secara epistimologi adalahar r obt(u) atau
perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk
melakukan sesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian
harus adanya keridhoan/kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi
perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian
tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang
lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan
norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat
dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya
diri tanpa alasan, dan undang-undang.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua subyek hukum
yang memberikan hak pada satu pihak untuk menuntut suatu prestasi dari pihak lainnya,
sedang kan pihak lainnya tersebut berkewajiban untuk memenuhi prestasi
tersebut
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dari seseorang/suatu pihak atau lebih yang
mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang dari pihak/lebih.
Sumber perikatan:
1. Perikatan (ps 1233 KUHPdt):
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu (ps.1234)
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu (ps.1234)
2. Persetujuan (ps.1313 KUHPdt) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang (ps.1352 KUHPdt) : Perikatan yang lahir
karena undang-undang timbul dari undang-undang atau
dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
Perbuatan Hukum: Perbuatan
halal (ps.1354 KUHPdt) : Jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan,
mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu,
maka ia secara diam- diam mengikatkan dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan ini, hingga orang
yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
Perbuatan melawan hukum (ps.1365 KUHPdt)
: Tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya, untuk mengganti kerugian tersebut
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya, untuk mengganti kerugian tersebut
3.
Subyek dan Obyek Perikatan
a.
Subyek Hukum
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu
kreditur dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut
subyek- subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan
debitur yang berkewajiban atas prestasi. Kreditur
biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan
debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif
kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan
kreditur dapat berupa memberi peringatan-peringatan menggugat
dimuka pengadilan dan sebagainya. Debitur harus
selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karena berkaitan dalam hal untuk
menuntut pemenuhan prestasi. Pada setiap perikatan
sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan
sekurang kurangnya satu orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu
perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan
beberapa orang debitur.
b. Objek Hukum (Prestasi)
Objek
dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan
merupakan hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau
prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi
dan kreditur berhak atas suatu prestasi. Wujud dari
prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan
tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Pada perikatan
untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan
sesuatu barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas
sesuatu barang, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan 7 barangnya
atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang
disewakan. Pada perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi
untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan
sesuatu misalnya pelukis, penyanyi, penari, dll.
Pada
perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Misalnya tidak
mendirikan bangunan ditanah orang lain, tidak membuat
bunyi yang bising yang dapat mengganggu ketenangan orang
lain, dll.
Objek perikatan harus memenuhi beberapa
syarat tertentu yaitu :
a. Obyeknya harus
tertentu.
Dalam
Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya
persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan
sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek
yang dapat ditentukan diakui sah. Sebagai contoh yaitu
Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya
dapat ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan adalah
tidak sah jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan. Misalnya, sesorang menerima tugas untuk membangun
sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa
luasnya.
b. Obyeknya harus
diperbolehkan
Menurut
Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan
menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan
ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh
undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua perbuatan-perbuatan
dan persetujuan- persetujuan adalah batal jika
bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut
ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak Pasal 23
AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337 BW, karena
selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya jika
bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya bahwa
8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan.
c. Obyeknya dapat
dinilai dengan uang.
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu
perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam
lapangan harta kekayaan.
d. Obyeknya harus
mungkin.
Dahulu
untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harus
mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan
antara ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan
subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan
timbul perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif
tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada
ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan oleh
siapapun. Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak
Semarang - Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.
Pada
ketidakmungkinan subyektif hanya debitur yang bersangkutan
saja yang tidak dapat melaksanakan prestasinya. Contoh : orang
yang tidak dapat bicara harus menyanyi. Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan subyektif yaitu terletak
pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan pada
contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi
tidak mungkin dilaksanakan dan karena kreditur tidak
dapat mengharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan
dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh
debitur yang bersangkutan saja. Dalam perkembangan
selanjutnya baikPitlo maupun Asser
berpendapat bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan
ketidakmungkinan subyektif dan obyektif. Ketidakmungkinan untuk
melakukan prestasi dari debitur itu hendaknya dilihat dari sudut
kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui atau seharusnya
mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut. Jika kreditur
4.
Sistem dalam Perikatan
Schuld dan Haftung
Pada setiap perikatan selalu terdapat
dua pihak, yaitu kreditur pihak yang aktif dan debitur pihak yang pasif.
AB
Debitur Kreditur
Schuld Haftung
Pada
debitur terdapat dua unsur, yaitu Schuld dan Haftung. Schuld
adalah utang debitur kepada kreditur. Setiap debitur mempunyai
kewajiban menyerahkan prestasi kepadakreditur. Karena itu
debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang.
Sedangkan Haftung adalah harta kekayaan debitur yang
dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut. Debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil
oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan
utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya
membayar utang tersebut. Setiap kreditur mempunyai
piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
disamping hak menagih (vorderingerecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban
membayar utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan
debitur sebesar piutangya pada debitur itu (verhaalarecht). Schuld dan haftung saling bergantungan erat
satu sama lain. Sebagai contoh : A berhutang pada B dan
karena A tidak mau membayar utangnya, maka kekayaan A
dilelang atau dieksekusi untuk dipergunakan bagi pelunasan hutangnya.
Asas bahwa kekayaan
debitur dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang-utangnya tercantum dalam
Pasal 1131 BW. Baik Undang-undang maupun para pihak dapat menyimpang dari asas
terebut, yaitu antara lain
dalam hal :
1. Schuld tanpa
Haftung.
Hal ini dapat kita jumpai pada perikatan alam (natuurlijke verbintenis). Dalam perikatan alam sekalipun debitur mempunyai utang (Schuld) kepada kreditur, namun
jika debitur tidak mau memenuhi kewajibannya kreditur tidak dapat menuntut
pemenuhannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan utang yang timbul dari
perjudian. Sebaliknya jika debitur memenuhi prestasinya, ia tidak dapat
menunut kembali apa yang ia telah bayarkan.
2. Schuld dengan
Haftung Terbatas.
Dalam hal ini debitur tidak bertanggungjawab dengan seluruh
harta kekayaannya,
akan tetapi terbatas sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh : ahli
waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar
schuld daripada pewaris sampai sejumlah harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli
waris tersebut.
3. Haftung dengan
Schuld pada orang lain.
Jika pihak ketiga menyerahkan barangnya untuk dipergunakan
sebagai jaminan
oleh debitur kepada kreditur, maka walaupun dalam hal ini pihak ketiga tidak mempunyai
utang kepada kreditur, akan tetapi ia bertanggungjawab atas utang debitur
dengan barang yang dipakai sebagai jaminan.
5.
Asas-asas Perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
- Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
- Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak
yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri,
yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata
dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu
Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus
cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas
dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
6.
Mulai dan Berakhirnya Perikatan
Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama
disebut juga dengan syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama
(kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal
tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut
adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak
hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga
segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut
kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun
tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang
lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang
melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat
itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan
membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,
karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik
kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah
penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu
perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian
tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko
dalam suatu peijanjian jual beli.
Tempat tinggal
(domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat
lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting
untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.
Dalam
hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti
tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti
sumpah.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua
belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak.
Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan
adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan
kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal
yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik
autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek
hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa
hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan
asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih
sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau
yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih
atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa
perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan
perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian
garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum
perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya
perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah
apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan
sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang
halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka
barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan
untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa,
dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu
tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan
undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang
merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
berbeda-beda.
Secara
mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1.
Perjanjian Konsensuil
Adalah
perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk
timbulnya perjanjian.
2.
Perjanjian Riil
Adalah
perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah
diserahkan.
3.
Perjanjian Formil
Adalah
perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai
formalitas tertentu.
Perikatan hapus:
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. pembaruan utang
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu.
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu.
Tiap perikatan dapat
dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang
atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga
yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk
melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur
sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.
Jika kreditur
menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai
atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur
dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian,
yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai
pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa
yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.
Ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan pembaharuan utang:
1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk
kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama.
2. bila seorang
debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.
3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama.
Pembaharuan
utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan
perikatan.
Jika dua orang
saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang
menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut . Perjumpaan terjadi demi hukum,
bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat
utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.
Bila kedudukan
sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan.
Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan
para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung
utang, sekali-kali tidak.
Pembebasan suatu
utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian
sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur
kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan juga
terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.
Jika barang
tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan,
atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau
tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar
kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Semua perikatan
yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di
bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh
atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar
kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang
bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang
dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas
kekuasaan mereka.
BAB IV PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai
materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dengan kita
mempelajari tetang “Hukum Perikatan” kita dapat mengetahuin apa pengertian dari
hukum tersebut dan dapat mengetahui asas-asas yang ada dihukum tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Di
ambil dari buku hukum perdata Indonesia Prof.Abdulkadir
Muhammad, S.H.
Hukum perikatan J.Satrio, S.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar