Jumat, 26 April 2013

HUKUM PERIKATAN SOFTKILL


      MAKALAH
   HUKUM PERIKATAN
          DISUSUN OLEH DAHLIA
                                  21211697   
          
                         

       












       FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
                       2013



 KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah makalah ini dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "
HUKUM PERIKATAN", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah dalam hukum  perikatan ini.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat
.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

  BAB I
  PENDAHULUAN


1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.


  BAB II
 PEMBAHASAN
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.



BAB III
STUDI KASUS
1.      Apa yang dimaksud dengan “Hukum Perikatan”?
2.      Apa asas-asas dari hukum perikatan?
3.      Apa tujuan dari hukum perikatan?



HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
2. Sumber Hukum Perikatan
Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir, dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh dalam perikatan yang timbul karena perbuatan menurut hukum contohnya; mengurus
kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal 1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari perikatan yang timbul dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 104 mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah, dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya. Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Adapun, sumber-sumber pokok perikatan yang ada di Mesir adalah adanya perjanjian (keinginan kedua belah pihak) dan tidak adanya perjanjian (muncul karena ketidaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua belah pihak). Dan definisi perjanjian secara epistimologi adalahar r obt(u) atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan sesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya keridhoan/kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua subyek hukum yang memberikan hak pada satu pihak untuk menuntut suatu prestasi dari pihak lainnya, sedang kan pihak lainnya tersebut berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dari seseorang/suatu pihak atau lebih yang
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang dari pihak/lebih.




Sumber perikatan:
1. Perikatan (ps 1233 KUHPdt): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu (ps.1234)
2. Persetujuan (ps.1313 KUHPdt) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang (ps.1352 KUHPdt) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
Perbuatan Hukum: Perbuatan halal (ps.1354 KUHPdt) : Jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam- diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan ini, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
Perbuatan melawan hukum (ps.1365 KUHPdt) : Tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya, untuk mengganti kerugian tersebut
3. Subyek dan Obyek Perikatan
a. Subyek Hukum
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek- subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Kreditur biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan sebagainya. Debitur harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karena berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan prestasi. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan sekurang kurangnya satu orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.
b. Objek Hukum (Prestasi)
Objek dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. Wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan 7 barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Pada perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu misalnya pelukis, penyanyi, penari, dll.
Pada perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Misalnya tidak mendirikan bangunan ditanah orang lain, tidak membuat bunyi yang bising yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, dll.
Objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :
a. Obyeknya harus tertentu.
Dalam Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. Sebagai contoh yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya dapat ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan adalah tidak sah jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan. Misalnya, sesorang menerima tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa luasnya.
b. Obyeknya harus diperbolehkan
Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua perbuatan-perbuatan dan persetujuan- persetujuan adalah batal jika bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337 BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya bahwa 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
d. Obyeknya harus mungkin.
Dahulu untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harus mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan antara ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak Semarang - Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.
Pada ketidakmungkinan subyektif hanya debitur yang bersangkutan saja yang tidak dapat melaksanakan prestasinya. Contoh : orang yang tidak dapat bicara harus menyanyi. Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan subyektif yaitu terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan pada contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin dilaksanakan dan karena kreditur tidak dapat mengharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja. Dalam perkembangan selanjutnya baikPitlo maupun Asser berpendapat bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan ketidakmungkinan subyektif dan obyektif. Ketidakmungkinan untuk melakukan prestasi dari debitur itu hendaknya dilihat dari sudut kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut. Jika kreditur
4. Sistem dalam Perikatan
Schuld dan Haftung
Pada setiap perikatan selalu terdapat dua pihak, yaitu kreditur pihak yang aktif dan debitur pihak yang pasif.
AB
Debitur Kreditur


Schuld Haftung

Pada debitur terdapat dua unsur, yaitu Schuld dan Haftung. Schuld adalah utang debitur kepada kreditur. Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepadakreditur. Karena itu debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan Haftung adalah harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut. Debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut. Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, disamping hak menagih (vorderingerecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangya pada debitur itu (verhaalarecht). Schuld dan haftung saling bergantungan erat satu sama lain. Sebagai contoh : A berhutang pada B dan karena A tidak mau membayar utangnya, maka kekayaan A dilelang atau dieksekusi untuk dipergunakan bagi pelunasan hutangnya.
Asas bahwa kekayaan debitur dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang-utangnya tercantum dalam Pasal 1131 BW. Baik Undang-undang maupun para pihak dapat menyimpang dari asas terebut, yaitu antara lain
dalam hal :
1. Schuld tanpa Haftung.
Hal ini dapat kita jumpai pada perikatan alam (natuurlijke verbintenis). Dalam perikatan alam sekalipun debitur mempunyai utang (Schuld) kepada kreditur, namun jika debitur tidak mau memenuhi kewajibannya kreditur tidak dapat menuntut pemenuhannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan utang yang timbul dari perjudian. Sebaliknya jika debitur memenuhi prestasinya, ia tidak dapat menunut kembali apa yang ia telah bayarkan.
2. Schuld dengan Haftung Terbatas.
Dalam hal ini debitur tidak bertanggungjawab dengan seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh : ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar schuld daripada pewaris sampai sejumlah harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.
3. Haftung dengan Schuld pada orang lain.
Jika pihak ketiga menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh debitur kepada kreditur, maka walaupun dalam hal ini pihak ketiga tidak mempunyai utang kepada kreditur, akan tetapi ia bertanggungjawab atas utang debitur dengan barang yang dipakai sebagai jaminan.
5. Asas-asas Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
- Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
- Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.


Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
6. Mulai dan Berakhirnya Perikatan
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.
            Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.

Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Perikatan hapus:
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. pembaruan utang
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang
        terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu.
Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.
Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.
Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang:
1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama.
2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.
3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama.
Pembaharuan utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan.
Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut . Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.
Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung utang, sekali-kali tidak.
Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.
Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka.


BAB IV PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

KESIMPULAN
Dengan kita mempelajari tetang “Hukum Perikatan” kita dapat mengetahuin apa pengertian dari hukum tersebut dan dapat mengetahui asas-asas yang ada dihukum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Di ambil dari buku hukum perdata Indonesia Prof.Abdulkadir Muhammad, S.H.

 Hukum perikatan  J.Satrio, S.H.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar