Senin, 04 November 2013

TULISAN 2, EMPAT POLA PETILAKU BIAYA



Empat Pola Perilaku Biaya Beserta Contoh Terapannya



Pola perilaku biaya inilah yang dijadikan bahan pertimbangan dasar dalam:
  • menganalisa potensi biaya yang akan timbul di masa yang akan datang, sehubungan dengan rencana peningkatan, penambahan, penurunan atau penghilangan aktivitas tertentu; dan
  • menilai kewajaran nominal biaya yang timbul pada periode tertentu dengan melihat trend atau pergerakan aktivitas di periode yang sama.
(Dalam contoh kasus yang akan disajikan nanti, anda bisa melihat contoh terapannya di masing-masing jenis perilaku biaya.)
Bisa jadi biaya-biaya yang timbul menunjukan perilaku yang bermacam-macam. Dan berbagai macam literature akuntansi, khususnya akuntansi biaya dan akuntansi manajemen, mungkin mengelompokan pola perilaku biaya secara berbeda-beda. Dalam tulisan ini JAK akan menggunakan empat kelompok pola perilaku biaya yang paling klasik saja, yaitu:
  • Biaya Variable (variable cost)
  • Biaya Tetap (fixed cost)
  • Biaya Campuran (mixed cost)
  • Biaya Bertingkat (step cost)
Jika disajikan dalam grafik, masing-masing jenis akan nampak sebagai berikut:


Sebelum melihat perbedaan-perbedaan, kita mulai dengan melihat kesamaan diantara keempat grafik yang mewakili empat pola perilaku biaya di atas. Keempatnya sama-sama memiliki:
  • Sumbu vertikal Y, mewakili total biaya (total cost) yang timbul, juga disebut “variabel terikat” (dependent variable) <<== baca: faktor yang dipengaruhi
  • Sumbu horizontal X, mewakili total aktivitas (total activity), juga disebut “variabel bebas” (independent variable) <<== baca: faktor yang mempengaruhi.
Dari kesamaan itu bisa dikatakan bahwa mencoba memahami pola perilaku biaya artinya mencoba memahami perubahan besaran biaya yang timbul (sumbu X = variabel terikat = faktor yang dipengaruhi) akibat perubahan yang terjadi pada volume aktivitas (sumbu Y = variabel bebas = faktor yang mempengaruhi).
Selanjutnya kita lihat kekhasan dari masing-masing pola jenis pola perilaku biaya

1. Biaya Variabel (variable cost)

Dimasukan ke dalam kelompok “biaya variabel” (variable cost) adalah biaya-biaya yang nilainya meningkat/menurun seiring dengan meningkat/menurun-nya aktivitas. Sehingga, biaya variabel bisa didefinisikan sebagai jenis biaya yang berubah mengikuti perubahan volume aktivitas.
Dalam grafik (lihat di atas) trend perubahan total biaya variabel digambarkan dalam garis diagonal, dan bisa kita lihat bahwa:
  • Ketika tidak ada aktivitas (aktivitas=nol), total biaya variabel juga tidak ada (total biaya variabel=0)
  • Ketika mulai ada aktivitas, maka biaya variabel juga mulai timbul.
  • Biaya variabel meningkat, dalam porsi yang sama, mengikuti peningkatan total aktivitas.
  • Jika suatu saat aktivitas mengalami penurunan, maka biaya variabel yang timbulpun akan menurun dalam porsi yang sama.
Beberapa contoh biaya yang tergolong “biaya variabel” (variable cost), antara lain:
  • Pengunaan persediaan bahan baku dan penolong (usaha manufaktur)
  • Penggunaan komponen/sparepart (usaha perakitan)
  • Penggunaan persediaan barang jadi (usaha dagang dan manufaktur)
  • Biaya tenaga kerja langsung: upah buruh, upah pegawai borongan, upah pegawai harian (usaha manufaktur)
  • Fee untuk profesional yang dibayar per proyek (usaha jasa)
  • Komisi penjualan (usaha manufaktur, dagang dan jasa)
Biaya-biaya di atas meningkat/menurun seiring dengan meningkat/menurunnya aktivitas produksi, pembentukan jasa atau penjualan dalam suatu perusahaan.
Pola peningkatan/penurunan “total biaya variable” akibat meningkat/menurun-nya “total aktivitas” diekspresikan dalam fungsi persamaan garis (linear) sbb:
Y =bX
Dimana:
  • Y = Total Biaya Variabel
  • X = Total Unit Diproduksi/Dibentuk (=aktivitas)
  • b = Biaya Variabel Per Unit (kadang disebut “kecenderungan/kemiringan fungsi biaya”)
Contoh Aplikasi:
Memakai contoh usaha restoran cepat saji McDonald di seri sebelumnya. Di bulan Januari 2013, biaya “Bahan Baku Daging Ayam” yang timbul untuk aktivitas pembuatan ayam goreng 3,000 menu “Paket Chicken Crispy” adalah Rp 30,000,000, dengan biaya variabel bahan baku daging ayam per unit Rp 10,000.
Case-1. Jika untuk bulan Februari 2013 aktivitas pembuatan “Paket Chicken Crispy” diperkirakan akan meningkat menjadi 4000 menu dengan biaya variabel per unit yang sama, berapa total biaya variabel “Bahan Baku Daging Ayam” yang akan timbul?
Jawaban:
Y = bX
Y = Rp 10,000 x 4000 = Rp 40,000,000
Simpulan: Peningkatan aktivitas pembuatan ayam goreng “Paket Chicken Crispy” 1000 menu (=4000 – 3000) mengakibatkan peningkatan total biaya variabel sebesar Rp 10,000,000 (=40,000,000 – 30,000,000).
Case-2. Jika di bulan Maret 2013 aktivitas pembuatan ayam goreng paket chicken crispy turun menjadi 3500 menu dengan biaya variabel satuan yang sama, berapa total biaya variabel yang akan timbul?
Jawaban:
Y = bX
Y = Rp 10,000 x 3500 = Rp 35,000,000
Simpulan: Penurunan aktivitas pembuatan ayam goreng “Paket Chicken Crispy” 500 menu (=4000 – 3500) mengakibatkan penurunan total biaya variabel sebesar Rp 5,000,000 (=40,000,000 – 35,000,000).
Case-3. Di awal bulan April 2013, sebagai manager (atau pemilik) restoran anda disuguhi laporan keuangan untuk Kwartal I 2013 (Januari s/d Maret 2013), termasuk “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP)”. Dalam rincian perhitungan harga pokok penjualan, anda menemukan nominal biaya bahan baku daging ayam menu paket chicken crispy sebesar Rp 125,000,000 untuk 10,500 menu dengan biaya satuan Rp 10,000. Apakah itu wajar?
Solusi: Anda tahu bahwa biaya bahan baku daging ayam tergolong biaya variabel. Anda juga tahu bahwa total biaya variable bahan baku daging ayam meningkat/menurun dalam porsi yang sama seiring dengan peningkatan dan penurunan aktivitas pembuatan ayam goreng paket menu chicken crispy. Berdasarkan pengetahuan itu, anda akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, menguji perhitungan total biaya bahan baku daging ayam:
Y = bX
125,000,000 = Rp 10,000 x 10,500 menu
125,000,000 = Rp 105,000,000
Apakah itu wajar? Jelas tidak. Mestinya Y sama dengan bX, kenyataannya tidak. Kemungkinan penyebabnya, bisa jadi:
  • Salah jurnal
  • Salah dalam perhitungan
  • Ada perubahan biaya variabel satuan
Untuk itu anda perlu membandingkan nota pembelian bahan baku daging dengan catatan, memeriksa akurasi perhitungan, dan memeriksa apakah telah terjadi perubahan “biaya variabel satuan” tanpa sepengetahuan anda.

2. Biaya Tetap (fixed cost)

Seperti namanya, yang masuk ke dalam kelompok “biaya tetap” (fixed costs) adalah biaya-biaya yang TETAP alias tidak berubah, terlepas apakah aktivitas produksi/pembentukan-jasa meningkat atau menurun, dalam jangka pendek.
Catatan: nanti akan saya jelaskan mengapa ditambahi dengan kalimat “dalam jangka pendek“.
Dalam grafik (lihat di atas) trend perubahan total biaya tetap digambarkan dalam garis datar, dan bisa kita lihat bahwa:
  • Pada saat tidak ada aktivitas (total aktivitas=nol), total biaya tetap berada di atas nol alias tetap timbul.
  • Pada saat total aktivitas meningkat, total biaya tetap tidak berubah (tidak meningkat)
  • Berapapun total aktivitas yang dilakukan, total biaya tetap akan tetap berada di ketinggian yang sama.
Beberapa contoh biaya yang tergolong “biaya tetap” (fixed cost), antara lain:
  • Biaya gaji, tunjangan dan bonus bagi pegawai tetap
  • Biaya stationary
  • Biaya administrasi
  • Biaya sewa gedung
  • Biaya asuransi gedung
  • Biaya penyusutan gedung
  • Biaya Pajak Bumi dan Bangunan
  • Biaya pemeliharaan gedung
  • Biaya penyusutan furniture dan fixtures
  • Biaya pemeliharaan furniture dan fixtures
  • Biaya penyusutan peralatan kantor (komputer, AC, dll)
  • Biaya pemeliharaan peralatan kantor
  • Biaya telepon
  • Biaya bensin
  • Biaya iklan
  • Biaya perjalanan dinas
Biaya-biaya di atas akan tetap ada dan dalam nilai yang sama terlepas apakah aktivitas produksi, pembentukan jasa, penjualan meningkat atau menurun, dalam jangka pendek.
Hubungan antara “total biaya tetap” (sumbu Y) dengan “total aktivitas” (sumbu X) diekspresikan dalam fungsi persamaan garis (linear) sbb:
Y = a
Diamana:
  • Y = Total biaya tetap
  • a = Biaya tetap
Catatan: X atau total aktivitas tidak dihitung karena besar/kecil-nya tidak berpengaruh terhadap besar/kecil-nya total biaya tetap.
Contoh Aplikasi:
Untuk menjalankan usaha gerai fast food McDonald yang di mulai bulan Agustus 2012, anda membayar sewa gedung berkapasitas 200 kursi sebesar Rp 50 juta, dengan masa sewa yang berlaku hingga Agustus 2013. Atas pembayaran sewa tersebut diakui sebagai “Sewa Dibayar Dimuka” sebesar Rp 50,000,000 dan setiap bulannya anda membebankan “Biaya Sewa” sebesar Rp 4,166,667 (=50,000,000/12) sejak masa sewa dimulai hingga berakhir.
Case-1. Jika di bulan Agustus restoran anda hanya membuat 1000 paket menu, berapa biaya sewa gedung yang harus anda tanggung? Jawaban: Rp 4,166,667.
Case-2. Jika di bulan September 2012 aktivitas produksi meningkat jadi 2000 paket menu, berapa biaya sewa yang harus anda tanggung? Jawaban: Tetap Rp 4,166,667
Case-3. Jika di bulan Desember 2012 aktivitas produksi meningkat jadi 4000 paket menu, berapa biaya sewa yang harus anda tanggung? Jawaban: Tetap Rp 4,166,667
Simpulan: Berapapun volume aktivitas produksi paket menu yang dilakukan, biaya sewa yang masuk dalam kelompok “biaya tetap” (fixed cost) yang ditanggung tetap sama setiap bulannya, yaitu Rp 4,166,667, DALAM JANGKA PENDEK.
Mengapa ada embel-embel “dalam jangka pendek”?

Biaya Tetap Bisa Berubah Dalam Jangka Panjang

Seperti telah disampaikan di awal sesi biaya tetap, pola perilaku biaya yang satu ini tidak dipengaruhi oleh volume aktivitas, dalam JANGKA PENDEK.
Dalam JANGKA PANJANG, bisa jadi biaya tetap meningkat (berubah) karena peningkatan volume aktivitas yang signifikan, sehingga tidak bersifat tetap lagi. Biaya yang berperilaku seperti ini biasanya biaya-biaya yang berkaitan dengan barang modal.
Contoh-1. Biaya sewa Rp 4,166,667 per bulan adalah biaya sewa yang dibebankan tiap bulan secara proporsional dari total sewa Rp 50 juta/tahun atas gedung yang memiliki kapasitas 200 kursi. Dala jangka panjang, ketika volume aktivitas poduksi paket menu McDonald dijalankan untuk melayani jumlah konsumen yang melebihi daya tampung 200 kursi, maka anda sudah harus menyewa tambahan gedung, mungkin dengan menyewa satu lantai lagi, sehingga biaya sewa menjadi 2x lipat (= 2 x 4,166,667), misalnya.
Contoh-2. Awalnya anda hanya menggunakan 2 mesin oven. Atas penggunaan mesin tersebut anda membebankan penyusutan sebesar Rp 2 juta setiap bulannya. Dalam jangka panjang, ketika aktivitas pengovenan ayam goreng melebihi kapasitas 2 mesin, maka anda sudah harus menambah satu mesin baru. Atas tambahan mesin tersebut, beban penyusutan tentu akan meningkat (alias berubah).

3. Biaya Campuran (mixed cost)

Biaya campuran” (mixed cost)—kadang disebut biaya “semi-variabel”—adalah biaya yang didalamnya terdiri dari kelompok biaya tetap dan biaya variabel. Sehingga biaya yang masuk dalam kategori ini tetap hingga titik tertentu (porsi biaya tetap) dan meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas setelahnya (porsi biaya variabel).
Dalam grafik, porsi biaya tetap total berada di ujung bawah grafik (wilayah berwarna biru) dimana totalnya tetap sampai pada titik a, dan porsi biaya variabelnya berada di atasnya yang meningkat seiring peningkatan volume aktivitas sebagaimana layaknya biaya variabel.
Contoh biaya campuran (mixed cost) yang paling lumrah, adalah: Biaya Listrik
Biaya listrik masuk ke dalam kategori biaya campuran (mixed cost) bila satu rekening listrik digunakan untuk keperluan kantor (porsi fixed cost) sekaligus untuk keperluan produksi (porsi biaya variabel). Biaya listrik bersifat tetap (konstan) untuk porsi penggunaan kantor, sedangkan porsi penggunaan keperluan produksi meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas produksi.
Pada kenyataannya, banyak biaya yang berbagi porsi antara untuk keperluan produksi (variabel) dengan keperluan kantor (tetap), tergantung jenis usaha dan karakter operasionalnya.
Hubungan antara “total volume aktivitas” (sumbu X) dengan total “total biaya campuran”—yang terdiri dari porsi biaya tetap dan biaya variabel (sumbu Y) diekspresikan dalam persamaan fungsi linear sbb:
Y = a + bX
Dimana:
  • Y = Total Biaya Campuran
  • X = Total Unit Diproduksi/Dibentuk (=aktivitas)
  • a = Porsi biaya tetap
  • b = Porsi biaya variabel per unit aktivitas
Contoh Aplikasi:
Restoran cepat saji McDonald yang anda jalankan menggunakan satu rekening listrik untuk kebutuhan operasional kitchen sekaligus kebutuhan kantor. Data tagihan listri dari pertama beroperasi (Juli 2012) hingga akhir tahun (Desember 2012) adalah sbb:
  • Tagihan Agustus (penggunaan Juli) = Rp 1,000,000
  • Tagihan September (penggunaan Agustus) = Rp 2,000,000
  • Tagihan Oktober (penggunaan September) = Rp 3,000,000
  • Tagihan November (penggunaan Oktober) = Rp 4,500,000
  • Tagihan Desember (penggunaan November) = Rp 6,000,000
  • Tagihan Januari (penggunaan Desember) = Rp 8,500,000
Melihat data di atas, sebagai manajer atau pemilik restoran, apa respon anda?
Pertama, anda berpikir “apakah angka-angka itu sudah akurat?” Yang bisa anda lakukan untuk menjawab pertanyaan ini adalah membandingkan antara catatan (journal) dengan nota tagihan dari PLN. Sepanjang catatan sudah sama persis dengan nota tagihan PLN, maka sudah bisa dibilang akurat.
Kedua, anda berpikir “Okay datanya akurat, apakah tagihan sebesar itu wajar?” Yang saya tahu, sampai saat ini, kita konsumen belum bisa mempertanyakan kewajaran angka yang tertera di atas nota tagihan PLN (kecuali sangat ekstrim), mau tidak mau terpaksa diasumsikan benar. Sehingga yang anda pertanyakan dalam hal ini, sesungguhnya, apakah penggunaan listrik sebesar itu tergolong efisien? Sedang? Atau Boros?
Mengukur penggunaan listrik tidak semudah mengukur penggunaan barang persediaan, maksimal yang bisa anda lakukan adalah membandingkan antara volume aktivitas dimana listrik digunakan (di kitchen dalam contoh ini) dengan besarnya tagihan yang tentunya dihitung dengan KWH, dari bulan-ke-bulan. Untuk penyederhanaan, saya akan membandingkan antara volume aktivitas dengan total tagihan saja. Anda sudah punya data tagihan, data yang masih anda butuhkan tinggal volume produksi. Anda memperoleh data sbb, misalnya:
  • Bulan Juli, total paket menu 0 (kitchen belum beroperasi), artinya apa? Total tagihan Rp 1,000,000 adalah murni penggunaan kantor, fixed cost.
  • Bulan Agustus, total paket menu 2000, artinya apa? Dari total tagihan Rp 2,000,000, porsi penggunaan kantor (fixed cost) Rp 1,000,000, sisanya yang 1,000,000 lagi adalah penggunaan kitchen (variable cost). Dari sini anda bisa menentukan biaya variabel satuan, yaitu Rp 1,000,000/2000 = Rp 500.
  • Tagihan September, total menu 3500 menu, artinya apa? Porsi variable cost Rp 2,000,000 (= Total mixed cost 3,000,000 – fixed cost 1,000,000). Biaya variabel satuan = 2,000,000/3500 = Rp 571. Jika dibandingkan dengan biaya variabel satuan Agustus, jelas penggunaan bulan September lebih boros.
Selanjutnya anda mencari tahu, mengapa lebih boros? Apakah trend pemborosan ini terus berlangsung di Oktober, November dan Desember atau bersifat sementara saja?
Lanjutkan analisa hingga Desember 2012. Jika biaya variabel satuan kembali ke angka Rp 500 berarti tidak ada masalah. Jika masih boros atau justru meningkat terus berarti ada yang tidak beres. Kemungkinannya bisa macam-macam: bisa jadi pegawai kitchen salah menggunakan alat/mesin, bisa jadi freezer daging atau peralatan lain mengalami kerusak sehingga boros listrik, dan lain sebagainya. Sebagai manager inilah yang harus anda tindak lanjuti, tidak sekedar mengutak-atik angka lalu berhenti.

4. Biaya Bertingkat (step cost)

Seperti namanya, “biaya bertingkat” (step cost) bersifat tetap atau konstan pada kisaran sempit suatu volume aktivitas, untuk kemudian berpindah ke tingkatan yang di atasnya begitu volume aktivitas melampui batas kisaran.
Dalam grafik, biaya yang dalam kondisi tetap (konstan) ditinjukan dengan garis horizontal (sejajar dengan sumbu X), dengan ketinggian tertentu, sampai pada kisaran tertentu. Begitu batas kisaran terlampaui, maka garis horizontal berpindah ke tingkat yang lebih tinggi untuk kemudian bersifat konstan lagi—sementara—sampai pada kisaran tertentu juga. Demikian terus, mengikuti perubahan yang terjadi pada volume aktivitas.
Conth biaya bertingkat yang paling lumrah adalah “biaya tenaga kerja”.
Hubungan antara biaya (sumbu Y) dengan volume aktivitas (sumbu X) untuk pola perilaku biaya bertingkat diekspresikan dalam fungsi persamaan linear sbb:
Y = ai
Dimana:
  • Y = adalah cost
  • ai = biaya bertingkat dalam kisaran aktivitas tertentu yang diidentifikasikan dengan huruf i kecil (subscript).
Contoh aplikasi:
Untuk membuat 500 – 1000 paket menu, perlu 4 org peg kitchen dengan total upah Rp 8,000,000 (=4 x 2 juta). Selama paket menu yang dibuat berkisar antara 500 – 1000 biaya tenaga yg timbul tetap hanya 8,000,000. Tetapi begitu melebihi 1000 menu, maka tenaga kerja yang dibutuhkan sudah bertambah menjadi 6 orang misalnya, sehingga biaya tenaga kerja naik ke tingkat berikutnya yaitu Rp 12,000,000 (=6 x 2 juta) untuk kemudian constant sampai maksimal 3000 menu misalnya.
Disamping biaya tenaga kerja, biaya yang memiliki pola perilaku bertingkat biasanya “insentive penjualan” bagi salesman (di perusahaan dagang) yang termnya bersifat progressive. Misalnya: insentive penjualan adalah 2 juta untuk penjualan di bawah Rp 500 juta, berubah menjadi 3 juta untuk penjualan 501 juta hingga 1 milyar, dan 5 juta untuk penjualan di atas 1 milyar.
SUMBER:

KOMENTAR:
Menurut Saya, dalam tulisan ini dapat mengetahui empat pola perilaku biaya beserta contoh terapannya tentang perhitungan biaya variable (valiabel cost), biaya tetap (fixed cost), biaya campuran (mixed cost), biaya bertingkat (step cost) beserta contoh soal dan perhitungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar